Tradisi Mudik di Keluarga Batak (Saya)

Mudik memiliki pengertian melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman (menurut saya ya). Di masyarakat Indonesia hal ini sudah menjadi satu tradisi turun temurun. Setiap tahunnya menjelang lebaran, orang-orang dari perantauan berbondong-bondong kembali ke kampung halamannya masing-masing demi merayakan kemenangan setelah berpuasa selama sebulan penuh bersama sanak saudara dan keluarga tercinta. Sebagian besar rakyat Indonesia pun tiba-tiba menjadi sibuk luar biasa mempersiapkan segalanya. Mengingat tradisi mudik sekarang ini, saya jadi kepengen membuat postingan mengenai tradisi mudik di keluarga batak.

Advertisements

Di keluarga saya sendiri – Batak Toba, ‘acara’ pulang kampung atau mudik sekali setahun tersebut juga sudah menjadi tradisi menjelang akhir tahun. Puncaknya adalah merayakan ibadah Natal dan Tahun Baru bersama-sama di kampung halaman nenek (selanjutnya saya sebut, oppung boru) saya di Dolok Sanggul, Sumatera Utara.

Sedikit informasi, Dolok Sanggul adalah daerah dataran tinggi yang dapat ditempuh selama 5-6jam jalan darat dari Kota Medan, Sumatera Utara. Dari kota Dolok Sanggul itu sendiri masih harus berjalan lagi kira-kira 30menit perjalanan sampai ke rumah oppung saya. Saya ingat dulu ketika masih kecil, udaranya dingin menusuk hingga tulang. Setiap saat harus menggunakan baju hangat dan malamnya menghangatkan diri di perapian. Beda dengan kondisi saat ini, udaranya sudah berubah menjadi panas. Jika dulu kita hanya bisa mandi sekali sehari, sekarang 3 kali seharipun tak jadi soal. Entah ini sebagai imbas dari pemanasan global.

Tradisi mudik seperti ini adalah hal yang kami tunggu-tunggu dan juga tentu saja bagi oppung saya sendiri. Menanti kedatangan pomparan-nya (keluarga besar = anak, menantu, dan cucu) dari tanah perantauan. Oppung saya memiliki 9 anak (4 laki-laki dan 5 perempuan) dan 31 cucu yang tersebar di Sibolga, Dolok Sanggul, Jambi, Pekanbaru, Perawang, Jambi, Palembang, Kalimantan, Jakarta dan Bandung. Bagi keluarga Batak jaman dulu sangat terkenal dengan pepatah anakkon hi do hamoraon di ahu (Anakku adalah hartaku yang paling berharga). Terbayang bukan, bagaimana ramai dan sukacitanya kami saat itu saling melepas rindu satu sama lain. Bagi oppung saya, ini merupakan energi bahagia yang bisa menambah umur dan semangatnya di usia yang sudah renta.

Biasanya dihari pertama setelah tiba di kota kelahiran orang tua saya itu, kami ziarah ke makam Oppung Doli (Kakek) yang letaknya tidak jauh berjalan kaki dari rumah. Setiap hari hampir seperti perayaan besar karena memasak dalam jumlah besar. Makan bersama, bercanda bersama, hingga malam harinya kami berkumpul di ruang tamu yang sudah disulap menjadi ruang besar tempat kami tidur bersama setiap tahunnya. Disinilah kami bisa bercerita, sharing hingga larut tentang masa-masa lalu yang penuh kenangan indah bahkan hingga pertanyaan-pertanyaan sensitive seperti “Siapanya pacarmu, bang?” yang hanya bisa saya jawab dengan cengengesan hahaha. Begitulah setiap hari penuh dengan kebahagian dan kehangatan.

Advertisements

Menyambut perayaan ibadah Natal, masing-masing kami sudah mempersiapkan diri untuk berangkat menuju gereja bersama-sama. Kebayang bagaimana riuhnya pagi hari saat itu. Menginjak malam tahun baru, tepatnya pukul 00:00 adalah waktu kami sekeluarga berkumpul untuk beribadah, berdoa, bersyukur dan diakhiri mandok hata (meminta maaf dan harapan-harapan kedepannya) dari tiap orang mulai dari yang terkecil hingga paling puncak, oppung. Dan biasanya acara baru selesai hingga pukul 4 subuh.

Makan bersama
Makan bersama
Transaksi Jeroan Babi
Transaksi Jeroan Babi 🙂
Oppung dan cucunya
Oppung dan cucunya
Pagi-pagi melihat ladang dan pematang sawah
Pagi-pagi melihat ladang dan pematang sawah
Suasana hangat malam hari
Suasana hangat malam hari

Begitulah rutinitas mudik kami sebagai keluarga batak setiap tahunnya. Begitu juga dengan keluarga batak lain pada umumnya. Biasanya, sehari setelah tahun baru, satu persatu kami kembali ke tanah perantauan masing-masing  meninggalkan (kembali) kampung halaman dan berpisah dengan oppung dan anggota keluarga lainnya. Sedih haru bahagia selalu menyertai ditiap perpisahan itu, namun selalu disertai dengan harapan baru di tanah perantauan. Seperti nasehat-nasehat orang tua dahulu agar sesama saudara marsiamin –aminan, marsitukkol-tukkolan, songon suhat dirobeani (Saling mendoakan, saling menopang, seperti talas di lereng gunung).

Tak peduli seberapa jauh dan dari belahan bumi manapun, pulang ke kampung halaman adalah satu hal yang selalu kita rindukan.

 

Scroll to Top