Trekking di Hutan Taman Nasional Sebangau

Begitu bendera diangkat oleh Mr. Akio Fukuda, road trip Terios 7 Wonder “Borneo Wild Adventure” resmi dimulai, semua tim Terios Sahabat Petualang yang terbagi dalam 7 mobil New Daihatsu Terios (3 automatic & 4 manual) berangkat menuju destinasi pertama yaitu Taman Nasional Sebangau yang letaknya berada persis di Desa Keruing, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Advertisements

Untuk menuju Desa Keruing, kami harus berkendara selama kurang lebih 4 jam menuju Desa Baon Bango terlebih dahulu. Disepanjang perjalanan kami tak menjumpai langit yang bersih karena kabut asap masih menyelimuti seluruh kota Palangkaraya. Justru pembakaran lahan dikanan-kiri jalan yang sering kami temui.

Satu jam sebelum tiba di Desa Baon Bungo tim Terios 7 Wonders menghadapai jalan yang cukup menantang ketika memasuki area hutan olahan. Jalanan rusak bergelombang ditambah lagi dengan debu dan asap menjadi pelengkap yang sempurna bagi para sahabat petualang Terios. Kami tak begitu khawatir dengan kontur jalanan yang seperti ini karena suspensi mobil New Daihatsu Terios bekerja dengan sangat baik sehingga membuat kami nyaman berada didalamnya.

Baca juga: Julia dan Julian, Orang Utan penghuni TN. Sebangau

Daihatsu Terios 7 Wonders
Daihatsu Terios di Palangkaraya
Daihatsu Terios 7 Wonders di Kalimantan
Jalanan di Kalimantan
Kebakaran Hutan Kalimantan
Pembakaran lahan hutan sering kamu jumpai dikiri-kanan jalan.

Dua kapal milik WWF sudah menanti kami di tepi sungai Katingan begitu kami tiba di Desa Baon Bungo. Desa ini menjadi tempat transit kami karena mobil tidak bisa masuk. Kami bergegas menyiapkan barang-barang seperlunya yang harus dibawa ke camp. Sisanya harus ditinggal dimobil. Kami terus melanjutkan menyusuri sungai berwarna kecoklatan yang telah surut selama musim kemarau sepanjang kurang lebih 45 menit perjalanan menuju dermaga lagi, di Sungai Kruing.

sungai-katingan-kalimantan-tengah
Sungai Katingan di Desa Kruing Kalimantan Tengah

Dermaga Sungai Kruing

Rencananya malam ini kami akan menginap di Visitor Center Pusat Penelitian dan Informasi WWF. Esok harinya kami baru ‘berburu’ melihat aktivitas orang utan kalimantan dari dekat.

Untuk mencapai lokasi camp, seharusnya bisa menggunakan klotok, sejenis sampan kecil yang menjadi alat transportasi masyarakat lokal sehari-hari disana, disebut klotok karena suara mesinnya berbunyi: klotok..klotok..klotok..(1000x).

Orang-orang camp atau turis (baik lokal maupun turis mancanegara) yang berkunjung biasanya menggunakan klotok ini. Sayangnya, karena musim kemarau, debit air menyusut drastis, klotok tak bisa lewat. Aliran sungai kecil menuju camp WWF sama sekali tak bisa dilewati, didasarnya nampak jelas glondongan kayu-kayu yang ukurannya cukup besar. Kebayang dong berapa kedalaman air sungai ini, seenggaknya ada 3-4 meter air sungai ini menyusut selama musim kemarau.

Sungai Kruing Palangkaraya Kalimantan
Sungai Kruing yang mengering
Sungai Kruing Kalimantan di Musim Kemarau
Lagi musim kemarau, sungainya kering. Inframe: @Cumilebay @Sefiin @WiraNurmansyah

Alhasil kita harus trekking, berjalan kaki menyusuri aliran sungai dan masuk sejauh 4.5 km ke dalam hutan. Diawal brieffing kami memang sudah diberitahu akan trekking sekitar 1 jam kedalam hutan karena kondisi yang tidak memungkinkan.

Advertisements

Diawal trekking cukup mudah bahkan cenderung menjadi ‘trekking ceria’ menyusuri aliran sungai yang sudah dangkal dengan gelondongan pohon-pohon yang berada di dasarnya. Kami berpikir lokasi ini cukup instagram-able banget, cocok banget untuk foto-foto ataupun berselfie-ria.

Saya sempat bertanya kepada pak Hamdika, salah seorang dari pihak WWF yang memandu kami di dalam hutan, tentang pohon-pohon yang terserak di sungai tersebut. Ternyata itu adalah hasil ilegal logging yang sempat terjadi dulu.

Trekking Hutan Taman Nasional Sebangau
Mulai masuk Taman Nasional Sebangau

Sudah sejam jalan (jalan santai) tapi belum ada tanda-tanda camp yang dimaksud, malahan yang ada kami semakin masuk lagi ke dalam hutan. Seketika saya terbayang ketika trekking dari pos Ranupani menuju Ranu Kumbolo, Semeru. Bedanya, kali ini saya berada di hutan Kalimantan Tengah di Taman Nasional Sebangau. Ngeri? Jelas tidak. Saya justru sangat menikmati trekking ini. Aktivitas ini lumayan untuk mengeluarkan keringat.

Peluh semakin membanjiri sekujur tubuh, nafas pun sudah mulai sepengggal-sepenggal, kami semakin sering pula beristirahat. Selain sudah lelah, treknya semakin bervariatif pula. Terkadang kami harus melewati batang pohon besar yang sudah roboh, tak jarang tersandung akar-akar pohon yang melintang.

Asap masih saja mengganggu kami, dari tempat kami trekking, asap tersebut dapat terlihat cukup mendongak ke atas pohon saja. Terbayang bagaimana nasib orang utan saat ini. Hari sudah mulai gelap tapi belum ada tanda-tanda kami akan segera sampai di camp *kemudian terbayang nyamannya berda dikabin Daihatsu Terios*.

“Pak Hamdika, masih jauh ga?”, tanya saya sambil menunggu teman-teman yang tertinggal agak jauh dibelakang kami.

“Oh, masih jauh, mas”, jawabnya jujur banget. Sepertinya saya salah mengajukan pertanyaan.

Sambil menyusuri hutan selangkah demi selangkah, Pak Hamdika bercerita, setiap hari teman-teman yang bekerja di WWF harus pergi pagi-pagi sekali untuk memantau dan mencatat setiap aktivitas orang utan untuk diteliti. Ga hanya orang utan saja, ada juga beberapa jenis tanaman dan serangga seperti kupu-kupu. Di tanggal 16 setiap bulannya mereka akan pergi keluar camp untuk menyampaikan laporan hasil penelitiannya.

Jam setengah delapan malam, akhirnya kami pun tiba di camp pusat penelitian WWF itu, disambut dengan buah semangka manis sekali. Saya ga sadar entah sudah berapa potong semangka ini melewati tenggorokan saya melepas dahaga yang luar biasa. Sepotong buah semangka ini menjadi sangat nikmat.

Sebelumnya, kami memang sudah diberitahu saat briefing di Jakarta kalau disana akan ada trekking ‘sebentar’ sekitar satu jam perjalanan. Nyatanya, dari pukul setengah 5 sore berangkat dari dermaga sungai Kruing, kami baru tiba pukul setengah 8 malam. Usut punya usut, ternyata warga desa Kruing hanya membutuhkan waktu kurang dari sejam untuk melewati trek itu. Luar biasa ya.

Scroll to Top